Pesantren
Modern Al-Falah Abu Lam U merupakan titisan Dayah Abu Lam U yang pernah eksis
dalam bidang pendidikan agama sebelum kemerdekaan RI di bawah pimpinan Tgk.
Haji ‘Auf dilanjutkan oleh anak beliau Tgk. H. Umar bin ‘Auf yang kemudian untuk
menyelamatkan ilmu agama hijrah bersama keluarga dan anaknya Tgk. Abdullah bin
Umar Lam U ke Yan Negeri Kedah Malaysia Karena meletusnya perang Aceh-Belanda
tahun 1873 dan mengajar di Dayah Yan di bawah asuhan Tgk. Muhammad Arsyad le
Leubeue.
Setelah
keadaan Aceh normal, Tgk. Abdullah bin Umar Lam U kembali ke Aceh dan
menghidupkan kembali dayah yang pernah dirintis oleh ayah dan kakeknya. Dalam
waktu yang singkat Dayah Abu Lam U banyak didatangi santri dari beberapa daerah
dalam wilayah XXII mukim (Aceh Besar sekarang) dan luar XXII mukim. Dayah ini
terus berkembang berkat dukungan Bangsawan Budi H.T. Panglima Polem Muhammad
Ali sampai Abu Lam U meninggal pada tanggal 4 Juni tahun 1967 dan terjadi
kefakuman untuk beberapa tahun.
Kini
Pesantren Modern Al- Falah Abu Lam u resmi didirikan kembali pada tanggal 2
Juli 1992 atas inisiatif (alm) Drs. Athailah Abu Lam U bersama tokoh-tokoh
masyarakat kemukiman Lamjampok dengan menerapkan sistem pesantren terpadu
tingkat SMP dan SMA yang mngikuti perkembangan zaman sebagai respon keinginan
dan kebutuhan untuk mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan dan pendidikan
agama.
Pesantren Modern Al Falah Abu Lam U didirikan pada tahun 1992 atas inisiatif (alm) Drs. Athaillah bin Abdullah bin Umar, (alm) Nashiruddin Hasyim, Drs Anwaruddin, seluruh kepala desa dan tokoh masyarakat kemukiman Lamjampok, baik yang berada di dalam maupun di luar daerah, dalam rangka menghidupkan kembali nilai-nilai yang pernah dipunyai oleh masyarakat kemukiman Lamjampok ketika almarhum Tgk. Haji Abdullah bin Umar Lam U (Abu Lam U) masih hidup.
Pesantren Al-Falah Abu Lam U merupakan titisan dari Dayah Lam U yang sudah pernah ada sebelum Indonesia merdeka. Sebelum perang Aceh-Belanda 1873, di desa Lam U telah berdiri sebuah Dayah yang dipimpin oleh seorang ulama Tgk. Haji ‘Auf dan kemudian dilanjutkan kepemimpinannya oleh anak beliau Tgk. Haji Umar bin ‘Auf. Namun karena kondisi keamanan setelah meletusnya perang Aceh – Belanda (1873), beberapa ulama diharuskan untuk hijrah dalam rangka menyelamatkan ilmu pengetahuan. Di antara ulama yang melakukan hijrah pada waktu itu adalah Tgk. Haji Umar bin ‘Auf, beliau berangkat ke Yan Kedah Malaysia dan menetap di sana untuk mengajarkan pelajaran agama di dayah Yan di bawah asuhan Tgk. Muhammad Arsyad Ie Leubeue. Tgk H. Umar bin ‘Auf dalam hijrahnya, membawa serta keluarganya ke Yan, termasuk di dalamnya Tgk. Abdullah bin Umar Lam U.
Setelah keadaan di Aceh mulai normal, Tgk. Abdullah bin Umar Lam U kembali ke tempat kelahirannya desa Lam U untuk menghidupkan kembali dayah yang dulunya pernah dikelola oleh ayah dan kakeknya. Dalam waktu singkat keadaan dayah Lam U kembali didatangi oleh santri dari beberapa daerah dalam XXII mukim (Aceh Besar sekarang) dan dari luar XXII mukim. Dayah ini terus berkembang sampai Abu Lam U wafat pada tanggal 4 Juni tahun 1967.
Dayah Lam U kemudian menjadi vakum setelah Abu Lam U wafat. Proses belajar mengajar yang sebelumnya sangat semarak menjadi sepi bahkan tidak ada sama sekali. Kevakuman ini disebabkan oleh beberapa factor, di antaranya tidak ada lagi generasi penerus dari silsilah keluarga yang mempunyai keahlian di dalam bidang ilmu agama seperti yang dimiliki oleh Abu Lam U dan orang tuanya. Hampir semua keluarga Abu Lam U terjun dalam bidang sekolah formal (umum). Dan tidak ada dari mereka yang mendalami ilmu agama secara khusus seperti yang pernah dilakukan oleh leluhur mereka. Dengan demikian meninggalnya Abu Lam U pada tanggal 4 Juni 1967 selain kehilangan bagi masyarakat Aceh secara umum juga kehilangan yang sangat besar bagi masyarakat Lamjampok dan sekitarnya terlebih dengan hilangnya dayah Lam U yang sudah sangat mensejarah sejak sebelum kemerdekaan.
Baru pada tahun 1992 atas prakarsa dan usaha anak (alm) Abu Lam-U, Athaillah bin Abdullah bin Umar Lam-U, bersama beberapa tokoh masyarakat Lamjampok pesantren Abu Lam-U dihidupkan kembali. Pembangunan kembali Pesantren Abu Lam U dilakukan dengan mendirikan sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan yang ketuanya dipegang langsung oleh (alm.) Drs. H Athaillah Abu Lam U. Seluruh komponen masyarakat yang di 10 desa di kemukiman Lamjampok sangat mendukung I’tikad baik ini. Mereka saling bahu membahu dalam memberi dan mencari bantuan untuk menghidupkan kembali pusat pendidikan yang sudah lama mati ini. Sebagian masyarakat ada yang merelakan sawahnya menjadi areal Pesantren. Sebagian lagi ada yang mau menukar tanahnya dengan tanah yang berada di tempat lain. Beberapa orang menyumbangkan tenaganya untuk bekerja demi Pesantren. Semangat ini telah menjadikan Pesantren berjalan dengan baik walaupun dari sisi financial masih sangat memprihatinkan. Tetapi lambat laun karena keikhlasan para pendiri, kesabaran para pendidik dan kepedulian yang begitu besar dari seluruh komponen masyarakat, Pesantren mulai berkembang walaupun dalam gerak yang perlahan.
Pada awalnya Pesantren ini bernama Pesantren Modern Abu Lam U, namun karena namanya dianggap sama dengan yayasan yang menaunginya, maka namanya dirubah menjadi Pesantren Modern Al-Falah Abu Lam U. Penamaan dengan Pesantren modern karena system pengajaran yang digunakan tidak lagi mengikuti system lama dalam bentuk pengajian, tetapi lebih condong kesistem yang digunakan dalam sekolah formal. Juga di Pesantren ini mata pelajaran yang diajarkan tidak hanya ilmu-ilmu keislaman semata, tetapi juga diajarkan semua pelajaran umum yang diajarkan pada sekolah-sekolah umum yang sederajat.
Sejak tahun berdirinya Pesantren Abu Lam U resmi menerima santri baru dengan pimpinan pertamanya Drs. H. Abdurrahman TB (sekarang salah seorang petinggi di Kanwil Depag NAD) yang dibantu oleh (alm.) Dr. Dail Hikam, alumni Gontor yang berasal dari Banten yang kemudian menjadi Pimpinan Pesantren ini sampai tahun 2005. Pada awalnya Pesantren hanya menampung santri yang berasal sekitar Aceh Besar dan hanya mempunyai belasan santri. Namun dari tahun ke tahun jumlah santri semakin bertambah seiring dengan pencapaian kualitas yang terus meningkat.
Ketika tsunami datang banyak santri yang belajar di Pesantren ini yang kehilangan orang tua mereka dan kehilangan tempat tinggal. Sebanyak 85 santri yang belajar di sini adalah korban tsunami. Sebagian mereka telah kehilangan kedua orang tuanya (yatim-piatu), sebagian yang lain kehilangan Ayah dan yang lainnya kehilangan ibu. Ada juga yang kedua orang tuanya masih hidup, tetapi mereka tidak lagi mempunyai tempat tinggal dan masih tinggal di barak pengungsian. Pesantren dengan segala keterbatasan tetap menampung mereka dengan membebaskan segala pungutan dari mereka.
Pesantren dengan segala keterbatasan berusaha untuk membantu mereka dengan cara meminta bantuan dari donator yang concern terhadap persoalan-persoalan pendidikan dan kemanusiaan. Alhamdulillah bantuan terus mengalir untuk mereka, bahkan ketika akan menerima santri baru pada bulan Juni 2005 sebuah yayasan milik keluarga dari Negara jiran, Malaysia, Yayasan Zainuddin telah memberikan bantuan beasiswa untuk 250 santriwati yang tidak mampu. Namun hanya 175 santriwati dari 215 santriwati yang ada yang memenuhi kualifikasi kurang mampu. Selain membantu beasiswa yayasan Zainuddin juga memberi bantuan sarana fisik berupa 3 unit gedung, satu unit dormitory untuk putri, satu unit dining room, dan satu unit ruang belajar. Semua fasilitas itu sekarang sudah bisa digunakan walaupun belum mencapai tingkat kesempurnaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar